Monday, February 9, 2009

Tragedi Sosial dalam Transportasi*

Di pergantian tahun 2006-2007 ini, bangsa Indonesia diguncang dengan kecelakaan transportasi darat, laut maupun udara. Akhir Desember 2006, dua kapal tenggelam, masing-masing di Selat Bangka (28/12/06) dan di Laut Jawa (29/12/06). Dalam kecelakaan di Selat Bangka, sebuah ferry, kapal Tristar I, membawa 58 orang tenggelam, menewaskan sedikitnya 2 orang, dan 23 masih hilang (BBCIndonesia.com, 30/12/06; tempointeraktif.com, 9/1/07). Dalam kecelakaan di Laut Jawa, sekitar 400 penumpang kapal ferry Senopati Nusantara masih dinyatakan hilang (BBCIndonesia.com, 30/12/06). Para penumpang kapal Senopati Nusantara ini, sebagian besar merupakan pemudik ke Jawa untuk merayakan Idul Adha. Pada Senin malam (1/1/07), sebuah speedboat terbalik di lepas pantai Kalimantan, di kabupaten Katingan Kalimantan Tengah. Sedikitnya 15 orang meninggal dunia. Masih pada hari Senin (1/1/07), pesawat KI-574 Boeing 737-400 milik Adam Air hilang dalam penerbangan Surabaya menuju Manado. Belum selesai pencarian terhadap kapal yang tenggelam dan pesawat yang jatuh, maupun terhadap para korban, kecelakaan transportasi kembali terjadi. Kali ini, Salah satu gerbong Kereta Api (KA) Bengawan anjlok dan terjatuh saat melewati jembatan pada ketinggian 15 meter, di Desa Gunung Lurah, Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (16/1/07). Kecelakaan tersebut menelan korban jiwa lima orang dan ratusan lainnya luka-luka (suara-karya.online.com, 17/1/07).

Kecelakaan transportasi yang berturut-turut dan bahkan tidak kunjung selesai penanganannya ini, baru sebagian kecil dari kecelakaan lain yang kerap terjadi pada sarana transportasi umum di Indonesia. Kasus kecelakaan transportasi udara tiap tahun terus meningkat. Pada 2004 tercatat 109 kasus, 111 kasus pada 2005, dan 119 kasus pada 2006 (mediaindo.co.id, 12/1/07). Tingginya angka itu menjadikan tingkat kecelakaan udara di Indonesia terbesar di dunia. Dan, yang menyedihkan, banyak maskapai penerbangan melakukan efisiensi justru di bidang perawatan pesawat. Kasus kecelakaan kereta api setiap tahun meningkat 5-10 persen. Tahun 2003, PT Kereta Api Indonesia mencatat ada 50 kasus di seluruh Indonesia (tempointeraktif.com, 24/2/04). Dari 29 kasus kecelakaan yang tercatat di Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) di sepanjang tahun 2003, 24 kasus akibat kereta anjlok (tempointeraktif.com, 29/12/03).

Penyebab kecelakaan antara lain adalah tidak memadainya sarana dan prasarana kereta api, kesalahan manusia, kualitas organisasi perusahaan, pemeliharaan, pelayanan dan keandalan. Pada transportasi laut, seringkali ferry yang menghubungkan antar pulau ini memuat penumpang lebih banyak dari yang tercatat resmi. Karenanya, ketika terjadi kecelakaan, susah untuk dipastikan berapa persis penumpang yang berada di dalam sebuah kapal. Dengan begitu banyaknya pulau di Indonesia, berikut berbagai kecelakaan ferry dalam tiga tahun terakhir (BBCIndonesia.com, 12/1/07):

· 18 Maret 2004. Sedikitnya 23 orang tewas dalam sebuah ferry yang membawa 173 orang di Pulau Sulawesi.

· 7 Juli 2005. Sebuah ferry yang diperkirakan membawa 100 sampai 200 orang tenggelam di bagian timur Pulau Papua, dengan sedikitnya 74 orang dan 15 orang berhasil dibebaskan. Manifest penumpang menunjukkan adanya 148 orang dan awak.

· 31 Januari 2006. Sebuah ferry di laut ganas di Nusa Tenggara Timur, antara Kupang, dengan pulau Rote, dengan 124 orang berhasil diselamatkan dan 81 dilaporkan meninggal.

· 21 Juni 2006. Sebuah ferry membawa 116 orang di lepas pantai Sumatera, menewaskan 16 orang dan 22 orang hilang.

· 28 Desember 2006. Sebuah ferry membawa 58 orang tenggelam di dekat Pulau Bangka, menewaskan sedikitnya 2 orang, dan 23 masih hilang.

Dalam penanganan terjadinya kecelakaan, pemerintah terlihat sangat lamban dalam menanggapi terjadinya kecelakaan, apalagi jika yang terjadi adalah tenggelamnya kapal laut, atau pesawat udara yang hilang di laut maupun pegunungan. Keadaan alam Zamrud Khatulistiwa yang lebat dan liar seringkali tidak mampu dihadapi dengan cekatan akibat terbatasnya teknologi yang digunakan pemerintah untuk menangani kecelakaan transportasi umum. Bahkan lebih dari 15 hari sejak hilangnya Adam Air 1 Januari lalu, baik pesawat dan korban Adam Air, juga kapal Senopati yang tenggelam di Laut Jawa akhir Desember 2006 lalu, belum ditemukan lokasinya. Sementara itu, keluarga korban banyak mengeluhkan atas ketidakpastian informasi tentang penanganan keluarga mereka yang menjadi korban dalam kecelakaan.

Dilema Permasalahan Transportasi

Tingginya tingkat kecelakaan transportasi hanyalah ujung dari rantai permasalahan transportasi di Indonesia. Sekilas, faktor kesalahan teknis dan human error menjadi faktor langsung yang mengantarkan terjadinya kecelakaan. Posisi rel yang salah, mesin pesawat yang kurang terawat, dan kelebihan penumpang pada kapal laut sering menjadi alasan yang berulang dalam kecelakaan, meski sering yang dijadikan kambing hitam adalah faktor alam yang seharusnya sudah dikenali sejak lama. Di balik itu, mata rantai permasalahan transportasi di Indonesia akan mengantarkan pada apa yang terdapat pada diri bangsa ini, yaitu sistem yang berlaku dalam kebijakan politik dan sosial bangsa Indonesia. Faktor alam dan risiko keamanan yang tinggi dalam transportasi massal sudah menjadi sifat alami yang melekat yang diberikan Sang Pencipta. Justru sistem yang dijalankan bangsa ini dalam kebijakan politik dan sosialnya lah yang patut diperbaiki dalam menghadapi permasalahan hidup termasuk transportasi massal.

Banyak masalah lain yang terkait dalam sistem transportasi massal di Indonesia. Perusahaan jasa transportasi massal mempunyai posisi sebagai sebuah usaha yang bertujuan mencari keuntungan dengan menyediakan jasa transportasi massal bagi masyarakat. Sebagai pengguna jasa transportasi massal, masyarakat terdiri atas kelas bawah, menengah, dan atas berdasarkan tingkat pendapatannya. Untuk mendapatkan keuntungan, sekaligus menyediakan jasa bagi semua kelas masyarakat (agar tidak disebut berlaku diskriminatif), perusahaan jasa transportasi malah terjerumus pada perlakuan diskriminasi yang nyata. Jasa transportasi yang aman dan nyaman memerlukan modal dan biaya operasional yang tinggi. Sementara itu, sebagai perusahaan yang berhadapan dengan masyarakat sebagai konsumen, keamanan dan kenyamanan transportasi ditawarkan sebagai komoditas yang harus ditebus oleh masyarakat dengan tarif yang tinggi. Akibatnya, baik keamanan dan kenyamanan dalam transportasi hanya dapat dijangkau oleh masyarakat kelas atas. Karena transportasi massal pun dibutuhkan oleh masyarakat kalangan bawah, jasa transportasi yang tersedia baginya hanyalah ala kadarnya dengan tingkat keamanan dan kenyamanan yang rendah dan kapasitas yang terbatas (kalau tidak boleh disebut tidak manusiawi), yang tidak memerlukan modal dan biaya operasional yang tinggi. Tampak bahwa terjadi kesalahan paradigma dasar bahwa keamanan dalam transportasi massal hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang mampu menebusnya dengan uang, padahal keamanan dalam transportasi diperlukan oleh semua orang.

Dalam kenyataan, seringkali sementara orang justru mempersalahkan masyarakat kelas bawah yang sudah menjadi korban dalam kecelakaan transportasi murah. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Di tengah paradigma cari untung oleh jasa transportasi, mudah sekali dilihat ketika jasa transportasi bertarif murah berarti biaya yang dialokasikan untuk perawatan dan operasional yang menentukan tingkat keamanan juga rendah. Namun, jasa yang tidak aman ini masih saja mau dibeli oleh masyarakat kelas bawah, Namun, ketika perusahaan jasa transportasi dilarang menyediakan jasa transportasi yang tidak aman tetapi murah ini, justru perusahaan akan diserang balik dengan tuduhan diskriminasi karena hanya menyediakan jasa transportasi bagi kalangan atas dan tidak menyediakan jasa transportasi bagi masyarakat kelas bawah. Pada gilirannya, korban yang muncul pun sebenarnya bukan hanya korban kecelakaan, melainkan juga perusahaan jasa transportasi dalam negeri yang terperangkap dalam penyediaan jasa murah yang tidak aman ini.

Selama ini, dapat dilihat bahwa masyarakat lebih kuat dalam memperhatikan dan menghubungkan tarif perjalanan dengan kecelakaan pada transportasi laut dan udara, karena model transportasi ini lebih sarat teknologi dan lebih ketat secara regulasi. Setiap kendaraan laut dan udara dibatasi tiga batasan: equipment (peralatan teknologi), cuaca, dan personil (Amhar, 2007). Equipment, baik mekanik maupun navigasi sangat vital. Hal ini karena kendaraan laut dan udara tidak boleh gagal dalam perjalanannya. Maklum, jika rusak di jalan, mereka tak bisa didorong atau bertemu bengkel layaknya di kendaraan di jalan. Karena itu, menjelang keberangkatan selalu ada petugas mekanik yang memeriksa kesiapan equipment. Dialah yang bertanggung jawab menyatakan apakah kendaraan itu laik jalan atau tidak.

Namun, semua itu juga dikembalikan lagi pada kesadaran operator dan pengawasan regulator. Pada operator yang berpikir jangka pendek, dia akan ambil risiko lebih tinggi dengan mengurangi biaya-biaya ini, karena akan meraup keuntungan lebih besar. Tidak mengherankan jika ada pilot yang mengundurkan diri karena tidak tahan akan tekanan perusahaan yang memaksa terbang mendekati batas maksimalnya, atau kasus sejumlah perusahaan pelayaran yang mendemo Menteri Perhubungan karena dilarang berlayar selama cuaca buruk. Mereka mengeluhkan kerugian akibat tidak berlayar. Dilema memang. Di sisi lain negara "ceriwis" melarang warganya mencari penghasilan. Di sisi lain, negara tidak memberikan solusi atas tuntutan keperluan pokok masyarakat, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan yang harus dipenuhi dalam jangka pendek.

Di sisi lain, penumpang pun harus ikut memiliki kesadaran keselamatan (safety awareness). Di kapal sering didapati jumlah pelampung yang jauh di bawah jumlah penumpang, dan ini pun banyak yang dikunci. Alasannya, banyak pelampung ini hilang dicuri orang. Sementara itu di darat, terutama pada kereta api kelas ekonomi, kita melihat dengan telanjang bagaimana orang biasa mengabaikan persoalan kesalamatan ini, termasuk dengan duduk di atap kereta.

Persoalan ini tidak semata-mata persoalan tiadanya uang untuk mengadakan teknologi. Ini persoalan kesadaran umum atas keselamatan masyarakat kita yang rendah. Di jalan raya saja, kebanyakan orang baru pakai helm atau sabuk keselamatan kalau ada polisi yang mengawasi. Kesadaran ini juga harusnya ada pada para penguasa negeri ini. Jangan menunggu musibah dulu baru pikiran tercurah, dan setelah musibah berlalu maka teknologi keselamatan dilupakan.

Jasa transportasi tidak dapat terpisah dari prasarana transportasi, yaitu lintasan transportasi. Dalam transportasi darat, lintasan transportasi dikenal sebagai jalan, atau rel untuk kereta api. Bagi pesawat udara dan kapal/perahu, masing-masing melintasi dirgantara dan perairan sebagai lintasan transportasinya. Baik lintasan transportasi jalan, perairan, dan dirgantara, ketiganya menjadi fasilitas umum. Keberadaan lintasan transportasi yang pemanfaatannya diperlukan oleh umum, seharusnya menghalangi terjadinya kepemilikan oleh sebagian orang terhadap fasilitas umum ini. Keberadaan usaha jasa transportasi, sebagai perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan, secara langsung akan menggunakan fasilitas umum ini untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan dengan jasa transportasi yang dijualbelikan kepada masyarakat pengguna jasa transportasi. Akibatnya, lintasan transportasi yang merupakan fasilitas umum berubah menjadi milik perusahaan jasa transportasi karena masyarakat tidak akan dapat menggunakannya tanpa membeli jasa dari perusahaan, atau setidaknya akan dihadapkan pada perebutan penggunaan lintasan transportasi dengan perusahaan jasa transportasi yang memiliki kapasitas jauh lebih kuat daripada perorangan. Tidak menutup kemungkinan, kebijakan politik hanya akan berpihak kepada pemilik modal, dalam hal ini adalah perusahaan jasa transportasi, dengan mempersulit perorangan dengan alasan kepentingan umum yang ditampung oleh kapasitas perusahaan jasa transportasi.

Akar Masalah

Carut-marut transportasi umum di Indonesia dimulai dari paradigma dasar berikut perangkat aturan yang muncul dari paradigma dasar itu, dengan kata lain kesalahan sistemik. Kesalahan pertama adalah tentang kepemilikan fasilitas umum transportasi yang dikuasai oleh perusahaan atau swasta yang secara otomatis mempunyai fungsi bisnis, yaitu mencari keuntungan, bukan fungsi pelayanan. Akibatnya, meski jasa transportasi murah tidak aman, masyarakat tetap mau membeli akibat rendahnya daya beli. Jasa transportasi yang murah tapi berbahaya ini pun tetap laku di pasaran karena mendatangkan keuntungan, meski di lapangan kapasitas tersedia pun amat terbatas karena keuntungan yang diperoleh dari konsumen kalangan bawah ini tidak cukup besar, atau bisa jadi malah memerlukan subsidi silang. Adapun jasa transportasi yang aman, yang memerlukan modal dan kekuatan pembiayaan operasional, hanya dapat dijangkau oleh masyarakat kelas atas. Ini pun semakin mahal akibat biaya tinggi yang disebabkan oleh pajak dan keperluan untuk subsidi silang terhadap produk jasa transportasi murahan yang tidak aman, yang disediakan bagi konsumen kelas bawah. Dengan terbatasnya sarana transportasi bagi masyarakat kelas bawah, baik dibatasi oleh kapasitas maupun tarif, seringkali sarana transportasi digunakan dengan muatan penumpang atau barang yang melebihi kapasitas angkut. Hal ini mempertinggi ancaman bahaya kecelakaan.

Berawal dari pandangan yang menganggap bahwa nilai guna dan nilai tukar dari barang dan jasa itu ditentukan oleh titik temu dari permintaan dan penawaran, yang tersimpul dalam harga, maka barang dan jasa apa saja dianggap bernilai guna jika ada harganya. Hal ini akan mendorong kepada produsen untuk menawarkan apa saja asal ada permintaan yang tinggi (harga tinggi), tidak peduli barang dan jasa itu membahayakan masyarakat atau tidak. Fakta yang berkembang ternyata barang dan jasa yang merusak masyarakatlah yang paling laku di pasaran, apalagi barang dan jasa tersebut berhubungan langsung dengan komoditas strategis bagi jalannya kehidupan masyarakat.

Berbicara tentang komoditas strategis bagi masyarakat, kesalahan kedua adalah tentang fungsi pemerintah dalam pengelolaan fasilitas umum transportasi. Pemerintah lebih banyak lepas tanggung jawab terhadap pengelolaan fasilitas umum yang seharusnya dikelolanya untuk kepentingan umum. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Produsen-produsen besar (swasta), merambah kepada fasilitas umum transportasi yang menguasai hajat hidup orang banyak (pemilikan umum), dengan legitimasi dari pemerintah. Bukan hanya itu, pemerintah juga seakan sengaja melempar tanggung jawabnya mengelola fasilitas umum kepada swasta dengan tuntutan standar yang tinggi. Jika ditambah dengan tuntutan akan jaminan sosial bagi tenaga kerja maupun jaminan kemanan bagi para penumpang, maka semakin berat lah beban yang harus ditanggung oleh perusahaan. Pada perkembangannya, hanya perusahaan bermodal kuat saja yang mapan dan mampu bertahan di tengah tuntutan standar mutu jasa yang diberikan. Bahkan, fenomena seperti ini bisa jadi adalah hasil rancangan perusahaan bermodal kuat untuk memperkokoh posisinya di pasar bebas dengan menghambat perkembangan perusahaan-perusahaan yang lebih lemah. Dengan pongahnya, perusahaan-perusahaan bermodal kuat yang telah mapan seakan lupa bahwa pada awal berdirinya mereka pun tidak jauh berbeda dengan perusahaan-perusahaan yang lebih lemah yang kini mereka tekan perkembangannya.

Berangkat dari pemahaman bahwa setiap sistem itu muncul dari sebuah pandangan hidup tertentu, atau sebuah ideologi tertentu, sistem yang berlaku saat ini dibangun dari pandangan sekularisme, yaitu pemisahan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan agama (fashlu al-din 'ani al-hayat). Intinya, agama hanya boleh mengatur urusan ritual dan moral saja. Pandangan yang berasal dari dominasi gereja dan raja di Eropa pada Abad Pertengahan ini pun digeneralisasikan kepada Islam. Dengan demikian, aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi dan transportasi, tidaklah diambil dari Islam. Kepemilikan terhadap barang dan jasa transportasi, dan pengembangannya, tidak ditetapkan dengan Islam. Pembagian fungsi, peran, dan tanggung jawab pada negara, pemodal, dan masyarakat, tidak ditetapkan dengan Islam. Akibatnya, sistem yang dijalankan manusia pun terjebak dalam carut-marut permasalahan yang penyelesaiannya selalu menimbulkan paradoks yang dilematis dan menyengsarakan manusia. Bagaikan hukum rimba, akhirnya pihak yang lemah, yaitu masyarakat kelas bawah (proletar) lah yang menjadi korban paling parah, bukan pemerintah maupun para pemodal (borjuis).

Islam Solusinya

Allah telah menurunkan Islam untuk menyelesaikan permasalahan hidup manusia, baik masalah privat maupun masalah kolektif. Syari'at Islam membagi kepemilikan barang dan jasa menjadi tiga jenis kepemilikan, yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara (An Nabhani, 1996). Barang dan jasa yang kepemilikannya ada pada individu, memungkinkan setiap individu untuk mendapatkan dan memanfaatkannya dengan cara-cara perolehan kepemilikan dan cara-cara pemanfaatan yang diperbolehkan oleh hukum syara'. Barang dan jasa yang kepemilikannya ada pada umat (milik umum) tidak memungkinkan dimiliki oleh individu atau segelintir orang saja. Barang dan jasa yang termasuk dalam kepemilikan umum ini antara lain: sumber daya air, sumber daya hutan, sumber daya energi, sumber daya tambang yang berkapasitas besar, serta fasilitas umum. Barang dan jasa milik umum ini harus dikelola melalui peran negara agar hasilnya dapat dikembalikan bagi kepentingan umum. Kompensasi yang diberikan oleh negara dari hasil pengelolaan milik umum tidak berarti berupa uang atau barang hasil olahan, melainkan dapat berupa pembiayaan negara terhadap pelayanan umum bagi kepentingan umat. Pelayanan umum ini dapat terwujud berupa pendidikan, kebersihan, dan kesehatan, atau juga jasa pelayanan umum yang lain seperti transportasi umum.

Barang dan jasa yang termasuk dalam kepemilikan umum, meski dikelola oleh negara, tetap berbeda dengan kepemilikan negara. Negara dapat memindahkan kepemilikan negara menjadi kepemilikan pribadi dengan cara-cara yang diperbolehkan oleh syara'. Adapun barang dan jasa yang termasuk kepemilikan umum akan tetap menjadi kepemilikan umum dan tidak boleh negara atau siapa pun memindahkan kepemilikan/penguasaannya kepada perorangan atau swasta (corporation).

Dengan seperangkat aturan Islam ini kewenangan untuk memiliki, mengembangkan, dan memanfaatkan barang dan jasa menjadi teratur dan tidak menyengsarakan manusia, justru membawa keteraturan dan kemakmuran. Demikian juga dengan aturan Islam tentang sarana dan prasarana transportasi umum. Pada dasarnya, lintasan transportasi, baik itu berupa jalan, laut, sungai, dan dirgantara, adalah benda-benda yang diperlukan oleh masyarakat dan digunakan secara bersama. Adalah sebuah kezhaliman bagi masyarakat jika prasarana transportasi ini dikuasai secara perorangan atau segelintir orang. Karena itu, lintasan transportasi adalah kepemilikan umum. Adapun pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara untuk kemashlahatan umat. Dalam sebuah hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang mengatakan, Nabi SAW bersabda: "Imam adalah (laksana) penggembala (pelayan). Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya." Dalam struktur pemerintahan Islam, transportasi umum tidak termasuk ke dalam struktur kekuasaan, melainkan masuk ke dalam struktur administrasi untuk kemashlahatan umum yang memerlukan keahlian dalam bidang transportasi. Hukum asalnya, khalifah harus mengambil pendapat ulama, para ahli dan pakar dalam perkara tersebut. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah saw. mengadopsi pendapat Hubab bin Mundzir sebagai ahli di daerah Badar saat menetapkan strategi perang Badar.

Dengan kepemilikan prasarana transportasi yang merupakan fasilitas umum yang termasuk kepemilikan umum, dengan kewajiban negara untuk mengelolanya demi kemashlahatan umat, maka keamanan dan keselamatan dalam transportasi umum tidak akan diperhitungkan berdasarkan keuntungan dan kerugian, melainkan menjadi sebuah bentuk pelayanan kepada umat. Dengan demikian, mutu jasa transportasi yang selama ini diskriminatif, menyengsarakan, dan membahayakan masyarakat akibat orientasi bisnis dapat dihindari.

Pengelolaan dan penyelenggaraan jasa transportasi yang memperhatikan keamanan dan keselamatan masyarakat memang memerlukan pembiayaan yang tinggi. Secara umum biaya perjalanan terdiri dari biaya operasi (bahan bakar, parkir, personil), biaya perawatan, dan biaya pelayanan (Amhar, 2007). Dari ketiga biaya ini, biaya operasi dan perawatan menentukan sejauh mana resiko keselamatan diantisipasi. Pada kenyataannya, justru biaya untuk keselamatan inilah yang dipangkas dengan alasan efisiensi untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan. Dengan paradigma bahwa transportasi umum harus dikelola negara, efisiensi untuk mencari keuntungan dapat dihilangkan. Demikian juga terhadap kemungkinan kelebihan muatan yang juga menjadi salah satu faktor yang ikut berperan pada tingginya resiko kecelakaan. Justru negara mempunyai kekuatan untuk melarang dan mengatur masyarakat tanpa harus memperhatikan orientasi profit. Pelayanan negara kepada umat dalam bentuk jasa transportasi yang aman ini merupakan bagian dari kompensasi yang dapat diberikan oleh negara, hasil pengelolaan kepemilikan umum yang lain yaitu: sumber daya alam dan energi, atau dari pendapatan negara yang lain seperti harta fa'i, kharaj, dan jizyah. Dalam penyelenggaraan transportasi umum, negara dapat melibatkan swasta dalam pelayanan dalam perjalanan. Dari sinilah faktor kenyamanan dapat menjadi variabel dalam penentuan tarif, sedangkan keamanan dan keselamatan mutlak harus dipenuhi tanpa memperhatikan tarif yang ditebus oleh masyarakat.

Solusi tentang permasalahan transportasi umum tidak dapat berdiri sendiri tanpa tegaknya sistem Islam komprehensif dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu dalam sebuah konstruksi khilafah. Tiga pilar tegaknya sistem Islam -negara, kontrol masyarakat, ketakwaan individu- harus dijalankan dengan sinergis. Negara harus menerapkan syari'at Islam, yang pro terhadap:

keselamatan penumpang, dengan orientasi pengurusan terhadap masyarakat, yang nanti di akhirat akan dipertanggungjawabkan kepada Allah;

perkembangan sains dan teknologi untuk kemashlahatan ummat;

jaminan dan perlindungan keperluan dasar manusia, sehingga warga tidak berpikiran pendek karena desakan keperluan dasar yang memang harus dipenuhi dalam jangka pendek. Pikiran dangkal inilah yang sering kali mendorong orang untuk mencuri infrastruktur fasilitas umum, merugikan negara, membahayakan dirinya dan masyarakat.

Masyarakat harus dibangun dengan ketajaman pikiran dalam menjaga dan mengawasi syariat Islam yang dijalankan negara dari penyimpangan para penguasa dan pegawainya. Masyarakat dituntut untuk menjaga dan mengawasi individu-individu dalam dirinya untuk berperan aktif menegakkan peraturan yang ditetapkan negara dalam rangka memelihara dan menjaga keselamatan perorangan dan umum. Dan yang mendasar adalah bahwa kesengsaraan hidup akibat mata rantai kesalahan-kesalahan manusia yang sistemik ini juga harus dipertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat yang abadi. Pemikiran dangkal di masyarakat harus dikikis habis dengan paradigma baru bahwa kehidupan ini tidak lantas berakhir tanpa pertanggungjawaban dengan kematian. Justru kematian itulah awal dari keabadian akhirat yang menuntut pertanggungjawaban manusia dan menyediakan surga dan neraka sebagai konsekuensinya. Wallahu'alam.

Rujukan

Amhar, Fahmi. 2007. Teknologi Keselamatan Transportasi. Tabloid Suara Islam Edisi 13Tahun2007.

An Nabhani, Taqyuddin. 1996. Cetakan II. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Alih Bahasa: Muh. Maghfur. Risalah Gusti, Surabaya.

www.suarakarya-online.com

www.bbcindonesia.com

www.mediaindo.co.id

www.tempointeraktif.com

* Disampaikan dalam majlis Halqah Syahriyah Hizbut Tahrir Indonesia Chapter IPB pada Ahad, 28 Januari 2007